Keputusan terbaru dari Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Pilkada telah mendapatkan sambutan positif dari masyarakat, terutama dari mereka yang mendukung penghapusan politik dinasti dan menginginkan proses demokrasi yang lebih bersih dan adil. Putusan ini dinilai sebagai langkah penting untuk memberikan kebebasan kepada rakyat dalam memilih pemimpin mereka tanpa adanya intervensi politik yang merugikan.
Namun, euforia ini tampaknya diwarnai dengan kekhawatiran tentang penerapan keputusan MK. Kekhawatiran tersebut muncul karena adanya manuver politik dari partai-partai di DPR yang dapat mempengaruhi implementasi keputusan MK. Hal ini terlihat jelas setelah Badan Legislasi (Baleg) DPR RI memutuskan untuk tidak mengadopsi putusan MK dalam rapat yang digelar pada Rabu, 21 Agustus 2024.
Dalam rapat tersebut, DPR bersama pemerintah dan DPD RI membahas revisi Undang-Undang Pilkada dalam konteks RUU Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Beberapa revisi disepakati, termasuk penyesuaian batas usia calon kepala daerah sesuai dengan putusan calon Nomor 23 P/HUM/2024 yang diketok pada 29 Mei 2024. Putusan tersebut menetapkan bahwa calon gubernur dan wakil gubernur harus berusia minimal 30 tahun saat dilantik.
Keputusan Baleg DPR untuk tidak mengadopsi putusan MK dapat menciptakan ketidakpastian mengenai apakah putusan MK akan benar-benar diterapkan. Hal ini menambah ketegangan dan keraguan di kalangan masyarakat tentang apakah reformasi yang diharapkan akan benar-benar terwujud. Kita perlu memantau perkembangan lebih lanjut dan langkah-langkah yang diambil oleh berbagai pihak untuk memastikan bahwa keputusan MK diimplementasikan secara efektif dan sesuai dengan semangat demokrasi yang diharapkan.