Waduk Gajah Mungkur (WGM), yang dibangun dengan membendung Bengawan Solo pada tahun 1976, memang dikenal sebagai salah satu proyek besar di Indonesia yang melibatkan penenggelaman 51 desa di tujuh kecamatan. Setiap kali musim kemarau panjang terjadi, fenomena unik muncul di mana air waduk menyusut, dan bekas bangunan serta makam dari desa-desa yang tenggelam mulai terlihat kembali ke permukaan. Fenomena ini, seperti yang dilaporkan di Desa Jaban, Kecamatan Wuryantoro, menunjukkan puluhan nisan yang menyembul dari dalam waduk, beberapa masih utuh meskipun sudah lama terendam.
Kondisi makam-makam ini bervariasi, ada yang rusak dan ada juga yang masih jelas terbaca, termasuk beberapa nisan dengan aksara Jawa. Menurut warga setempat, seperti Wiryono yang berusia 60 tahun, dahulu daerah tersebut merupakan pemukiman yang memiliki kompleks makam, dan banyak penduduk desa yang terdampak pembangunan waduk memilih untuk ikut transmigrasi ke Sumatra atau Kalimantan.
Kemunculan makam dan lahan yang terbuka akibat surutnya air waduk juga dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk bercocok tanam, sebuah pemandangan yang menjadi bagian dari siklus tahunan waduk saat musim kemarau panjang tiba. Hal ini mencerminkan bagaimana masyarakat setempat beradaptasi dengan kondisi alam dan perubahan yang diakibatkan oleh pembangunan waduk besar