Tradisi Sigajang Laleng Lipa’, atau yang dikenal sebagai tarung sarung, merupakan warisan budaya yang sarat dengan nilai-nilai kehormatan dan harga diri masyarakat Bugis-Makassar. Tradisi ini erat kaitannya dengan konsep Siri’ na Pacce, yaitu prinsip yang menekankan rasa malu (siri’) dan empati (pacce/pesse) sebagai landasan moral utama.
Sigajang Laleng Lipa’ adalah mekanisme penyelesaian konflik yang digunakan ketika semua upaya perdamaian menemui jalan buntu. Masalah-masalah yang memicu pertarungan ini biasanya berkaitan langsung dengan rasa malu atau penghinaan yang dirasakan oleh salah satu pihak, seperti perselingkuhan, penghinaan, atau konflik keluarga yang berkepanjangan. Pada intinya, ketika rasa malu atau kehormatan seseorang diusik, tarung sarung menjadi pilihan terakhir untuk memulihkan harga diri.
Proses tarung sarung melibatkan dua pria yang bertarung menggunakan badik, senjata tradisional Bugis-Makassar, di dalam satu sarung. Pertarungan ini biasanya tidak berakhir hingga kedua belah pihak mengalami luka serius atau meninggal dunia. Sebelum duel dimulai, kedua pihak sepakat bahwa jika salah satu dari mereka tewas, pihak yang selamat tidak akan dikenakan tuntutan atau hukuman.
Filosofi Bugis-Makassar yang mengatakan, “Narekko siri kuh mo’lejja-lejja, copponna mih kawalie ma’bicara”, atau “jika kamu menginjak-injak rasa malu saya, maka ujung badik yang akan bertindak,” mencerminkan betapa seriusnya masyarakat ini dalam menjaga kehormatan diri. Siri’ dianggap sebagai sesuatu yang lebih berharga daripada nyawa itu sendiri.
Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi Sigajang Laleng Lipa’ kini semakin jarang dilakukan dalam bentuk asli karena masyarakat Bugis-Makassar telah menemukan cara-cara lain yang lebih damai untuk menyelesaikan konflik. Meski begitu, tradisi ini tetap dilestarikan melalui seni dan pertunjukan budaya. Tarung sarung seringkali dipentaskan bersama bentuk seni lainnya seperti tarian, drama, dan ritual sebagai upaya menjaga warisan budaya ini tetap hidup dan diapresiasi oleh generasi muda.
Upaya pelestarian ini tidak hanya memperkenalkan nilai-nilai tradisional Bugis-Makassar, tetapi juga menjadi sarana untuk mengenang pentingnya kehormatan dan martabat dalam kehidupan sosial masyarakat tersebut.