
Berisik, gesit, dan penuh warna—itulah ciri khas tuk-tuk, kendaraan roda tiga legendaris yang meramaikan jalanan di kota-kota besar Asia Tenggara. Dari Bangkok hingga Manila, dari Phnom Penh hingga Vientiane, tuk-tuk menawarkan perjalanan yang cepat, mendebarkan, dan unik. Meski mirip dengan bajai di Indonesia, tuk-tuk punya kisah dan perkembangan tersendiri yang menarik untuk ditelusuri.

Asal-usul Tuk-Tuk: Dari Jepang ke Asia Tenggara
Kendaraan ini ternyata tidak lahir di Asia Tenggara, melainkan di Jepang pasca-Perang Dunia II. Saat itu, Jepang mengembangkan becak bermotor roda tiga kecil—dikenal sebagai becak otomatis—untuk memenuhi kebutuhan transportasi yang murah dan fleksibel. Kendaraan ini kemudian diekspor ke berbagai negara Asia, termasuk Thailand dan Filipina, di mana ia diadaptasi menjadi bagian dari budaya lokal.

Di Thailand, kendaraan ini dikenal sebagai “samlor”, sebelum akhirnya berevolusi menjadi tuk-tuk modern. Nama “tuk-tuk” sendiri diyakini berasal dari suara khas mesin dua taknya: “tuk-tuk-tuk”.

Thailand: Pusat Kepopuleran Tuk-Tuk
Thailand menjadi negara pertama yang mengadopsi dan mempopulerkan tuk-tuk secara luas. Sejak tahun 1960-an, tuk-tuk telah menjadi pemandangan umum di jalan-jalan Bangkok. Awalnya digunakan untuk mengangkut barang, tuk-tuk kemudian dimodifikasi untuk membawa penumpang, menjadikannya solusi ideal untuk mengatasi kemacetan dan gang-gang sempit ibu kota.

Dengan desain terbuka, dekorasi mencolok, dan sensasi berkendara yang langsung bersentuhan dengan hiruk-pikuk jalanan, tuk-tuk pun menarik perhatian wisatawan. Hingga kini, tuk-tuk menjadi ikon pariwisata Thailand, muncul dalam berbagai suvenir, foto perjalanan, dan kartu pos.

Adaptasi di Negara Lain: Dari Filipina hingga Laos
Di Filipina, versi lokal tuk-tuk dikenal sebagai becak bermotor atau “tricycle”. Biasanya terdiri dari sepeda motor yang disambungkan ke kabin penumpang, model ini sangat fleksibel, terutama di daerah pedesaan. Desainnya pun sangat bervariasi antar wilayah—ada yang beratapkan aluminium, ada pula yang dilengkapi tirai dan kabin tertutup.
Sementara di Kamboja, tuk-tuk lebih menyerupai model Thailand, namun kabin penumpangnya berbentuk trailer yang ditarik sepeda motor. Di Laos, kendaraan ini menyerupai truk kecil dengan bangku terbuka di belakang, digunakan untuk angkutan barang dan penumpang sekaligus.

Tuk-Tuk dan Budaya Perkotaan
Tuk-tuk bukan sekadar alat transportasi. Ia adalah bagian dari kultur jalanan Asia Tenggara—suara klakson, hiruk-pikuk pasar, canda pengemudi, dan panorama jalanan semua bisa dinikmati dari balik kabin terbuka tuk-tuk. Bagi wisatawan, tuk-tuk sering menjadi kontak pertama yang nyata dengan suasana kota lokal—berbeda jauh dari pengalaman steril taksi ber-AC.

Transformasi Tuk-Tuk di Era Modern
Seiring waktu, tuk-tuk juga bertransformasi. Di tengah isu lingkungan dan polusi, sejumlah kota seperti Bangkok dan Manila mulai memperkenalkan tuk-tuk listrik yang lebih ramah lingkungan, senyap, dan efisien. Perubahan ini menandai adaptasi tuk-tuk terhadap tantangan zaman.

Selain itu, kemajuan teknologi membawa tuk-tuk ke era digital. Kini, tuk-tuk bisa dipesan melalui aplikasi seperti Grab atau Gojek, memudahkan penumpang dan membuka peluang ekonomi baru bagi para pengemudi.